BREAKING NEWS

Ini Alasan Mengapa Bahasa Belanda Tidak Digunakan di Indonesia, Padahal Negara Ini Pernah Dikuasai Belanda Selama Berabad-abad!

Bahasa Belanda Tidak Digunakan di Indonesia

Ini Alasan Mengapa Bahasa Belanda Tidak Digunakan di Indonesia, Padahal Negara Ini Pernah Dikuasai Belanda Selama Berabad-abad!

Ini Alasan Mengapa Bahasa Belanda Tidak Digunakan di Indonesia, Padahal Negara Ini Pernah Dikuasai Belanda Selama Berabad-abad!

Aji Muhammad - Alasan Sejarah dan Budaya di Balik Tidak Digunakannya Bahasa Belanda di Indonesia. Indonesia adalah salah satu negara yang pernah mengalami penjajahan oleh bangsa asing, salah satunya adalah Belanda. Penjajahan Belanda di Indonesia berlangsung selama kurang lebih 350 tahun, mulai dari abad ke-16 hingga ke-20. Dalam kurun waktu yang sangat lama itu, tentu saja ada banyak pengaruh yang ditinggalkan oleh Belanda di Indonesia, baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, maupun bahasa.

Namun, meskipun begitu, tidak banyak orang Indonesia yang bisa berbicara bahasa Belanda. Bahkan, menurut data dari Ethnologue, jumlah penutur bahasa Belanda di Indonesia hanya sekitar 200 ribu orang, atau kurang dari 0,1 persen dari total populasi Indonesia. Padahal, jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang pernah dijajah oleh bangsa Eropa, seperti Malaysia, Singapura, Filipina, India, atau Afrika Selatan, penggunaan bahasa penjajah masih cukup tinggi dan menjadi salah satu bahasa resmi atau bahasa pengantar pendidikan di negara-negara tersebut.

Lalu, apa alasan di balik tidak digunakannya bahasa Belanda sebagai bahasa keseharian di Indonesia? Ada beberapa faktor yang dapat menjelaskan fenomena ini, baik dari segi sejarah maupun budaya. Berikut adalah beberapa faktor yang kami rangkum dari berbagai sumber:

Faktor Sejarah

Kebijakan Kolonial Belanda yang Diskriminatif

Salah satu faktor sejarah yang mempengaruhi tidak digunakannya bahasa Belanda di Indonesia adalah kebijakan kolonial Belanda yang diskriminatif terhadap penduduk pribumi. Berbeda dengan bangsa Inggris yang cukup terbuka dalam memberikan akses pendidikan kepada penduduk jajahan mereka, bangsa Belanda cenderung menutup diri dan membatasi kesempatan belajar bahasa Belanda bagi orang-orang Indonesia.

Hal ini terlihat dari sistem pendidikan yang diterapkan oleh Belanda di Indonesia. Pada masa itu, sekolah-sekolah dibagi menjadi dua tingkat, yaitu siji dan loro. Siji atau sekolah kelas satu adalah sekolah yang diperuntukkan bagi orang-orang Belanda atau Eropa dan pribumi kaya. 

Sekolah ini menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar dan mengikuti kurikulum yang sama dengan sekolah-sekolah di Belanda. Sementara itu, loro atau sekolah kelas dua adalah sekolah yang diperuntukkan bagi kaum pribumi miskin. Sekolah ini menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dan hanya mengajarkan hal-hal dasar seperti membaca, menulis, berhitung, dan agama.
Dengan sistem pendidikan seperti ini, tidak heran jika hanya sedikit orang Indonesia yang berkesempatan belajar bahasa Belanda. Menurut data dari Departemen Pendidikan Nasional RI, pada tahun 1930, hanya sekitar 6 persen dari total penduduk Indonesia yang mengenyam pendidikan formal. Dari angka tersebut, hanya sekitar 0,3 persen yang bersekolah di sekolah kelas satu atau siji. Selebihnya bersekolah di sekolah kelas dua atau loro.

Perlawanan dan Nasionalisme Orang Indonesia

Faktor sejarah lainnya yang mempengaruhi tidak digunakannya bahasa Belanda di Indonesia adalah perlawanan dan nasionalisme orang Indonesia terhadap penjajahan Belanda. Sejak awal kedatangan Belanda di Indonesia pada abad ke-16, banyak kerajaan-kerajaan lokal yang melawan dan menentang kehadiran mereka. Perlawanan ini semakin meningkat pada abad ke-19 dan ke-20, ketika muncul gerakan-gerakan nasionalis yang menginginkan kemerdekaan Indonesia dari cengkeraman Belanda.
Salah satu bentuk perlawanan dan nasionalisme orang Indonesia adalah dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dan bahasa nasional. Bahasa Melayu dipilih karena sudah menjadi bahasa perhubungan atau lingua franca di Nusantara sejak lama. Bahasa ini juga mudah dipelajari dan diterima oleh berbagai suku dan etnis yang ada di Indonesia. Selain itu, bahasa Melayu juga memiliki nilai historis dan budaya yang tinggi, karena banyak karya sastra dan naskah-naskah kuno yang ditulis dalam bahasa ini.

Pemilihan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dan bahasa nasional diresmikan pada tanggal 28 Oktober 1928, melalui ikrar Sumpah Pemuda. Dalam ikrar tersebut, para pemuda dari berbagai daerah dan latar belakang menyatakan bahwa mereka memiliki satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa, yaitu Indonesia. Sejak saat itu, bahasa Melayu yang kemudian disebut sebagai bahasa Indonesia menjadi lambang identitas dan semangat perjuangan orang Indonesia untuk meraih kemerdekaan dari Belanda.

Faktor Budaya

Keberagaman Bahasa Daerah di Indonesia

Faktor budaya yang mempengaruhi tidak digunakannya bahasa Belanda di Indonesia adalah keberagaman bahasa daerah yang ada di Indonesia. Menurut data dari Ethnologue, Indonesia memiliki sekitar 742 bahasa daerah yang tersebar di berbagai pulau, suku, dan etnis. Bahasa-bahasa daerah ini memiliki ciri khas dan kekayaan kosakata yang berbeda-beda. Bahasa-bahasa daerah ini juga memiliki peran penting dalam menjaga dan melestarikan budaya dan tradisi lokal masing-masing.
Dengan keberagaman bahasa daerah yang begitu besar, tidak mudah bagi orang Indonesia untuk beralih ke bahasa Belanda sebagai bahasa keseharian. Bahkan, banyak orang Indonesia yang lebih memilih untuk menggunakan bahasa daerah mereka sendiri atau bahasa Indonesia sebagai bahasa utama dalam berkomunikasi sehari-hari. Hal ini terlihat dari data sensus penduduk tahun 2010, yang menunjukkan bahwa hanya sekitar 19,94 persen penduduk Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. Selebihnya menggunakan berbagai macam bahasa daerah sebagai bahasa ibu.

Keunikan dan Kemudahan Bahasa Indonesia

Faktor budaya lainnya yang mempengaruhi tidak digunakannya bahasa Belanda di Indonesia adalah keunikan dan kemudahan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memiliki beberapa karakteristik yang membuatnya berbeda dengan bahasa Belanda maupun bahasa-bahasa lainnya. Beberapa karakteristik tersebut antara lain adalah:

- Bahasa Indonesia tidak mengenal gender atau jenis kelamin dalam kata benda, kata ganti, atau kata sifat. Hal ini berbeda dengan bahasa Belanda yang memiliki tiga gender, yaitu maskulin, feminin, dan netral.

- Bahasa Indonesia tidak mengenal kasus atau bentuk kata benda, kata ganti, atau kata sifat yang berubah-ubah sesuai dengan fungsi sintaksisnya dalam kalimat. Hal ini berbeda dengan bahasa Belanda yang memiliki empat kasus, yaitu nominatif, genitif, datif, dan akusatif.

- Bahasa Indonesia tidak mengenal konjugasi atau perubahan bentuk kata kerja sesuai dengan subjek, waktu, atau mode dalam kalimat. Hal ini berbeda dengan bahasa Belanda yang memiliki enam konjugasi untuk waktu sekarang (presens), enam konjugasi untuk waktu lampau (preteritum), dua konjugasi untuk waktu dekat (futurum), dua konjugasi untuk waktu lampau sempurna (perfectum), dua konjugasi untuk waktu lampau lebih dari sempurna (plusquamperfectum), dan dua konjugasi untuk waktu dekat lampau (futurum exactum).

- Bahasa Indonesia tidak mengenal derajat perbandingan atau perubahan bentuk kata sifat sesuai dengan tingkat pembandingannya. Hal ini berbeda dengan bahasa Belanda yang memiliki tiga derajat perbandingan, yaitu positif, komparatif, dan superlatif.

Dengan karakteristik-karakteristik tersebut, dapat dikatakan bahwa bahasa Indonesia lebih sederhana dan mudah dipelajari daripada bahasa Belanda. Bahkan, menurut penelitian oleh peneliti dari Universitas Indonesia, bahasa Indonesia termasuk dalam kategori bahasa yang sangat mudah dipelajari oleh penutur asing.

Keunikan dan kemudahan bahasa Indonesia membuatnya menjadi bahasa yang disukai dan dipilih oleh banyak orang Indonesia sebagai bahasa keseharian. Bahasa Indonesia juga menjadi bahasa yang menghubungkan berbagai suku dan etnis yang berbeda di Indonesia. Bahasa Indonesia juga menjadi bahasa yang menunjukkan identitas dan kebanggaan sebagai bangsa Indonesia.

Ada upaya untuk memperkenalkan bahasa Belanda di Indonesia?

Ya, ada beberapa upaya untuk memperkenalkan bahasa Belanda di Indonesia, baik dari pihak Belanda maupun dari pihak Indonesia sendiri. Berikut adalah beberapa contoh upaya tersebut:

- Pada masa penjajahan Belanda, pemerintah kolonial Belanda mendirikan beberapa sekolah yang menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar, seperti sekolah kelas satu (siji) untuk orang-orang Belanda, Eropa, dan pribumi kaya, sekolah HIS (Hollandsch-Inlandsche School) untuk anak-anak pribumi yang berbakat, sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) untuk pendidikan menengah, dan sekolah AMS (Algemeene Middelbare School) untuk pendidikan tinggi. Selain itu, pemerintah kolonial Belanda juga mendirikan beberapa lembaga pendidikan tinggi yang menggunakan bahasa Belanda, seperti STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) untuk pendidikan kedokteran, THS (Technische Hoogeschool) untuk pendidikan teknik, dan RECHTS-HOGE-SCHOOL untuk pendidikan hukum.

- Pada masa pergerakan nasional Indonesia, beberapa tokoh dan organisasi Indonesia juga berupaya untuk mempelajari dan memperkenalkan bahasa Belanda sebagai salah satu cara untuk menghadapi penjajahan Belanda. Misalnya, Pangeran Tjondronegoro IV yang mendatangkan seorang guru Belanda untuk mengajar putra-putrinya bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan barat, Raden Ajeng Kartini yang belajar bahasa Belanda melalui surat-menyurat dengan teman-temannya di Belanda dan menulis buku Habis Gelap Terbitlah Terang dalam bahasa Belanda, Sumpah Pemuda yang menggunakan bahasa Belanda sebagai salah satu bahasa persatuan selain bahasa Indonesia, dan Boedi Oetomo yang menerbitkan majalah De Indische Gids dalam bahasa Belanda sebagai media informasi dan propaganda.

- Pada masa kemerdekaan Indonesia, bahasa Belanda masih digunakan sebagai salah satu sumber referensi ilmiah dan sejarah di berbagai bidang, seperti hukum, kedokteran, teologi, linguistik, filologi, dan lain-lain. Beberapa universitas di Indonesia masih menyediakan program studi atau kursus bahasa Belanda, seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, Universitas Padjadjaran, Universitas Hasanuddin, dan lain-lain. Selain itu, ada juga beberapa lembaga atau organisasi yang bergerak di bidang pengajaran dan penelitian bahasa Belanda di Indonesia, seperti Erasmus Taalcentrum Jakarta, Lembaga Bahasa Internasional Universitas Indonesia, Yayasan Van Deventer-Maas Stichting, dan lain-lain.

Pengaruh budaya Belanda yang ada di Indonesia saat ini

Beberapa pengaruh budaya Belanda yang ada di Indonesia saat ini adalah:

- Bahasa Indonesia yang dipengaruhi oleh bahasa Belanda. Banyak kata-kata dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Belanda, seperti knalpot, vermaak, absurd, afdruk, fabel, garasi, giro, gratis, spoor, tank, sigaret, tol, urine, wastafel, drama, handel, dan lain-lain.

- Makanan dan kue kering yang diadaptasi dari kuliner Belanda. Beberapa contohnya adalah roti dengan meses, perkedel, nastar, risoles, kaasstengels, lapis legit, semur, dan lain-lain.

- Sistem pemerintahan dan hukum yang mengikuti model Belanda. Misalnya sistem birokrasi dengan gubernur jenderal sebagai kepala pemerintahan kolonial, sistem hukum Belanda yang menjadi salah satu pilar sistem hukum Indonesia, dan Jakarta sebagai pusat pemerintahan yang dulunya bernama Batavia.

- Arsitektur bangunan yang bergaya Belanda. Beberapa bangunan bersejarah di Indonesia yang memiliki ciri khas arsitektur Belanda antara lain adalah Istana Merdeka, Museum Nasional, Stasiun Gambir, Gereja Katedral Jakarta, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, dan lain-lain.

- Agama Kristen Protestan yang dibawa oleh para misionaris Belanda. Banyak gereja-gereja di Indonesia yang didirikan oleh Belanda sebagai sarana penyebaran agama Kristen. Beberapa contohnya adalah Gereja Immanuel Jakarta, Gereja Blenduk Semarang, Gereja Sion Jakarta, dan lain-lain.

Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa alasan sejarah dan budaya di balik tidak digunakannya bahasa Belanda sebagai bahasa keseharian di Indonesia. Alasan sejarahnya antara lain adalah kebijakan kolonial Belanda yang diskriminatif, perlawanan dan nasionalisme orang Indonesia, serta kemerdekaan Indonesia dari Belanda. Alasan budayanya antara lain adalah keberagaman bahasa daerah di Indonesia, keunikan dan kemudahan bahasa Indonesia, serta kesadaran dan kecintaan terhadap bahasa Indonesia.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tidak digunakannya bahasa Belanda di Indonesia bukanlah sesuatu yang perlu disesalkan atau disayangkan. Justru sebaliknya, hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki semangat dan karakter yang kuat dalam mempertahankan dan mengembangkan bahasa dan budaya mereka sendiri. Bahasa Indonesia bukanlah bahasa penjajah, melainkan bahasa persatuan dan bahasa nasional yang menjadi simbol kemerdekaan dan keberagaman bangsa Indonesia.
Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar